4.12.12

Manusia tidak boleh menyalahkan takdir

Manusia tidak boleh menyalahkan takdir sebagai alasan untuk tidak beribadah dan berusaha. 

Seorang tidak boleh berkata, “Jika aku telah ditakdirkan baik dan beriman, mengapa aku harus bersusah-payah beribadah dan beramal soleh? Bukankah sudah pasti aku akan masuk syurga?”

Seorang juga tidak sepantasnya berkata, “Jika aku telah ditakdirkan menjadi kafir, apakah manfaatnya jika aku berusaha menjadi mukmin? Bukankah yang aku lakukan akan sia-sia, kerana takdir telah menetapkan bahawa aku akan masuk neraka?”


Jika kita dilahirkan dari perut seorang ibu yang fasik atau kafir, adakah kita patut membiarkan diri kita sesat sampai bila-bila?

Kata-kata seperti itu jelas keliru dan TIDAK BOLEH diucapkan. Tidak sewajarnya kita mengatakan, “Jika nasibku telah ditentukan dan ditetapkan sejak lahir, apa untung dan ruginya bila aku bekerja keras dan beribadah sekarang ini?”

Contoh yang paling baik untuk kita renungkan adalah cerita Nabi Adam a.s. dengan Iblis laknatullah. Iblis menyalahkan takdir yang menyebabkannya durhaka kepada Allah. Kemudian ia menjadi kafir dan dikeluarkan dari rahmat Allah dan diusir dari sisi-Nya. Nabi Adam a.s. pun mengakui kesalahannya. Beliau menganggap kesalahan itu adalah tanggung jawabnya sendiri. Kemudian ia memohon ampun kepada Allah SWT. Maka beliau mendapat rahmat dan ampunan Allah SWT.

Jangan kita mengorek qada’ dan qadar Allah. Nabi Uzair (Uzayr) pernah mempersoalkan asal-usul kejadian makhluk, kemudian mematikannya dan menghidupkannya kembali. Maka Allah SWT kemudian mematikannya selama seratus tahun. Kemudian Dia menghidupkannya kembali seperti sebelum hidup di dunia dan sekali lagi mematikannya. Semua dilakukan agar menjadi iktibar kepada manusia. [NB : Baru aje masukkan kisah ini di sini -> Kisah Nabi Uzair a.s.]

Apabila di dunia ini kita menemukan orang-orang yang berbuat dosa, seperti mencaci Allah, munafik, menyekutukan Allah, mempermainkan hukum-hukum Allah, merendahkan kalam Allah, dan sebagainya yang secara zahir jahat dan keji, janganlah semua itu membuat iman kita goyah atau lemah. Itu adalah semua ujian dari Allah untuk kesabaran kita dan pelajaran dari Allah tentang orang-orang yang disesatkan Allah. Ya, kata-kata ini akan saya sematkan dalam hati sampai bila-bila, insya Allah.

Sebaiknya kita mendoakan semoga Allah memberi taufiq dan hidayah kepada orang tersebut. Insya Allah kita akan terhindar dari sifat dan perbuat tercela seperti yang dilakukan orang tersebut, kerana Rasululllah SAW pernah bersabda yang bermaksud, “Doa seorang muslim untuk saudaranya sesama muslim dari kejauhan tanpa diketahui olehnya akan dikabulkan. Di atas kepalanya ada malaikat yang telah diutus, dan setiap kali ia berdoa untuk kebaikan, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan amin dan kamu juga akan mendapat seperti itu.” (Hadis riwayat Muslim)

Ketahuilah bahawa semua kebaikan yang kita perbuat bukan berasal ‘dari’ kita sendiri, tetapi sebenarnya hanya ‘melalui’ diri kita. Tegasnya, tanpa takdir Tuhan tidak ada yang dapat kita perbuat. Jadi, takdir atas pekerjaan dan kejayaan kita datangnya dari Allah.

Apabila kita bersalah, kesalahan itu adalah hak atau milik kita agar kita mengenal erti bertaubat. Kesalahan itu datang dari angan-angan dan niat yang wajar dari ego kita. Jika kita memahami hal ini dan mengikuti petunjuk-Nya, kita termasuk dalam golongan manusia yang difirmankan Allah SWT yang bermaksud, “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiayai diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa itu selain Allah? Dan mereka tidak melanjutkan perbuatan keji itu. Sedangkan mereka mengetahui.” (Surah ali-‘Imran ayat 135)

Dalam Kitab al-Hikam karangan Syeikh Ibn Athoillah tertulis : “Keinginanmu untuk lepas dari urusan duniawi, padahal Allah membekalimu dengan sarana penghidupan, adalah syahwat yang samar. Sedangkan keinginanmu untuk mendapatkan sarana penghidupan, padahal Allah telah melepaskanmu dari urusan duniawi, adalah suatu kemunduran dari cita-cita luhur.”

Di sini kita diajarkan agar redha atas peranan yang telah Allah takdirkan kepada kita. Orang yang ditakdirkan Allah menjadi karyawan jadilah karyawan yang baik, yang menjadi petani jadilah petani yang baik, yang menjadi aparatur negara jadilah aparatur negara yang bertanggungjawab dan adil, yang menjadi pengusaha jadilah pengusaha yang jujur dan dapat menafkahkan hartanya di jalan Allah, yang jadi ulama jadilah ulama yang dapat menyinari dan memimpin umat dari kegelapan kepada jalan yang terang.

Jika kita tidak redha dan berpanjang angan-angan terhadap peranan lain dari yang telah Allah tetapkan bererti kita telah memperturutkan syahwat yang samar. Yang harus dilakukan adalah bersungguh-sungguh memfokuskan niat, perhatian dan perjuangan pada Allah, yang ada di balik semua wujud dan kejadian. Sehingga apapun yang kita lakukan menjadi lahan ibadah kepada Allah dan segala potensi yang ada kita sujudkan untuk menyembah Allah.

Syeikh Ibn Athailah dalam al-Hikam mengatakan : “Salah satu tanda bergantung pada amal adalah berkurangnya harapan tatkala gagal.” Ini bermaksud, jika kita beranggapan bahawa sumber kekuatan di balik usaha-usaha kita adalah diri kita sendiri, kita akan kecewa kala hasilnya tidak sesuai dengan harapan-harapan kita. Tetapi, kalau kita benar-benar berserah diri kepada Allah, maka kita akan melihatnya satu asal dan penyebab di balik usaha, peranan peribadi kita dalam melaksanakannya dan juga hasilnya. Kegagalan kemudian hanya akan kita anggap sebagai peringatan untuk memperkuat kesadaran pada kehendak, rahmat, dan kemurahan Allah. Di mata orang yang tercerahkan, terdapat kesatuan total dalam usaha dan hasil. Kalau kita sudah mempunyai keyakinan seperti tersebut, insya Allah kita tak akan sombong dan angkuh jika berhasil dalam kehidupan dunia dan berputus asa jika gagal dalam kehidupan ini.

Syeikh Ibn Athailah lebih lanjut mengatakan : “Ketika Allah membukakan pintu pengertian bagimu tentang penolakan-Nya, maka penolakan itu pun berubah menjadi pemberian.” Maksudnya, kita menyaksikan ke-Maha kuasaan-Nya ketika diberi nikmat dan melihat Keindahan dan Kelembutan-Nya ketika diberi nikmat. Yang penting adalah penyaksian, bukan keadaannya. Yang diinginkan oleh orang yang mendapatkan nur ilahi bukan keduanya, kerana fokus perhatiannya adalah pada sumber seluruh wujud, Pencipta seluruh makhluk, yang Kemurahan-Nya melampaui apa yang tampak sebagai kesempitan atau kelapangan, kerana Kemurahan-Nya ada dalam setiap waktu dan keadaan.

“Ketika Allah memberimu, Dia memperlihatkan kepadamu belas kasih-Nya. Ketika Dia menolak memberimu, maka Dia memperlihatkan kepadamu kekuasaan-Nya. Dan dalam semua itu, Dia memperkenalkan diri kepadamu dan menghadapmu dengan kelembutan-Nya.”

Janganlah kita membanggakan zikir, solat, sedekah, zakat, haji dan amalan-amalan lainnya, kerana itu semua adalah pertolongan Allah, bersyukurlah kepada-Nya kerana banyak yang mempunyai kemampuan fizikal, harta dan waktu tidak diberikan pertolongan oleh Allah untuk melakukan perbuatan baik tersebut. Alhamdulillah, ya Allah.

Janganlah bangga jika dipuji orang, kerana sesungguhnya kasih Allah telah menutupi aib kita sehingga orang hanya melihat kebaikan kita tanpa melihat aib kita. Janganlah marah ketika dihina orang, kerana itu adalah pertolongan Allah agar kita memperbaiki kesalahan kita atau memperbaiki kekurangan amalan kita dan agar kita menjadi orang yang lebih sabar.

Secara peribadi janganlah kita mencemuh dan menganiaya orang yang berbuat dosa, melainkan serahkan kepada hukum yang berlaku untuk tegaknya ketertiban dalam masyarakat. Kepada orang lain, berilah nasihat dengan bijaksana kepada orang-orang yang tingkatannya di bawah kita. Janganlah memberi nasihat dengan ilmu, tetapi lakukanlah dengan kasih sayang, agar hatinya tidak liar. Kepada orang yang sebaya atau setingkat sampaikan kebenaran dari Allah dengan ilmu yang tidak menggurui. Kepada orang yang lebih tinggi dari kita sampaikan kebenaran dari Allah dengan tetap memelihara kehormatannya

terima kasih: fatin azieana(sumber)